Rabu, 27 Mei 2009

daylight

SHE
There she goes and looks for something that she never knows exactly what it is.
She is just a young woman who tries to see the world freely.
She doesn’t think that this world is sometimes unpredictable.
She is just a young woman whose eyes have been closed by the bizarre world.
She doesn’t know that the world is waiting for her fallen.
She is still a young woman whom i hope to be happy
She doesn’t know that everything is imperfect
She is only a young woman who has just had the impure life
She doesn’t know what it is all about
She is just a young woman who seeks for something unclear
She doesn’t’ seem to care at all
She is truly a young woman who walks through the bush
She doesn’t realize
She is obviously a young woman who has stubbornness
She left
(Cikarang, May 27, 2009)









A Story
Si MAMAT
Hampir 6 bulan ayah ku tidak pulang ke rumah. Ibu hanya bisa menangis meratapi nasibnya serta nasib aku, kakakku, dan dua adik kembarku yang baru berusia 8 bulan. Kakakku hanya bermain tanpa peduli kondisi ibu yang semakin kurus dan pucat, tak terbayangkan betapa berat beban yang di pikulnya. Usiaku 9 tahun tapi aku harus dapat berpikir 5 tahun lebih dewasa bilamana melihat ibuku yang menggendong adikku dan menyusuinya satu persatu. Ya, aku berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi wanita yang paling cantik ini.
Beruntung ibuku memiliki seorang saudara laki-laki yang bersedia mengasuh salah satu adikku, meskipun tak sepenuhnya aku menyetujuinya karena aku telah berjanji untuk menjaga adik-adikku. Setelah beberapa bulan menunggak akhirnya sang empunya kontrakan meminta kami untuk angkat kaki dari rumah itu, miris sekali rasanya. Meskipun ibuku telah banting tulang dan memeras keringat menjadi kuli cuci bagi semua uwak dan paman-pamanku, tetapi tidaklah cukup untuk membayar kontrakan tersebut. Sebagai seorang anak ku coba membantu ibuku, tugasku adalah menjadi kuli panggul dan kurir pembawa cucian dari dan ke rumah uwak dan paman-pamanku. Dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan, di tambah lagi harus mengasuh adikku yang masih menyusui maka tentulah hasilnya pun tidaklah seberapa. Ibuku harus membayar uang kontrakan, spp sekolah aku dan kakakku, makan sehari-hari, dan bahkan membeli susu untuk adikku. Padahal, awal kami pindah kerumah tersebut dua tahun yang lalu betapa aku berharap dapat hidup bahagia dengan kakakku dan kedua orangtuaku, namun sepertinya itu hanya tinggal mimpi lalu yang tak kunjung terealisasi.
Tinggal bersama dengan uwak beserta anak-anaknya tidaklah menyenangkan. Meskipun masih terlalu kecil untuk memahami tapi aku merasakannya. Dua tahun berlalu, tiba saatnya untuk melanjutkan ke bangku SMP. Selama dua tahun tersebut setiap sebulan sekali aku dan kakakku pergi ke Jakarta untuk mengharap iba dari saudara-saudara ayahku demi dapat membayar uang sekolah. Meskipun kami masih anak-anak tapi kami hafal setiap jalan dan jenis transportasi yang ada ibukota tersebut setidaknya dari Bogor sampai Jakarta Selatan ke rumah nenekku. Dari desa kami di Bogor dari kawasan Megamendung, aku dan kakakku menumpang angkot sampai ke Sukasari kemudian di lanjutkan lagi dengan menaiki angkot ke Stasiun Kereta Api Bogor. Selanjutnya kami menumpangi Kereta Api untuk ke Stasiun Pasar Minggu dan dari Pasar Minggu naik Kopaja yang menuju ke daerah Keb. Baru tempat dimana nenek dan ayah kami tinggal. Perjalanan tersebut tidaklah menyenangkan karena kami harus bersiap-siap menemui seorang ayah yang pemarah yang bahkan tak segan untuk memukul. Pernah suatu hari aku melihat kakakku di pukulnya dan aku pun pernah melihat hal tersebut dilakukan kepada ibu. Sesampainya di Jakarta kami harus bersiap-siap dengan cacian dan makian dari ayah, sepulang dari Jakarta kami pun harus siap pula dengan keluhan dan ratapan dari ibu. Satu-satunya tempat yang kami sukai dalam perjalanan tersebut adalah Sukasari Plaza tempat kami bermain ding-dong sepulang dari Jakarta. Disana kami bermain ding-dong sampai jiwa anak-anak kami terlampiaskan.
Selepas SD akupun bingung hendak kemana, ingin melanjutkan sekolah tapi ibuku tak punya cukup uang untuk membiayai. Sedangkan kakakku yang awalnya dibiayai sekolah SMPnya oleh kakak dari ayah harus drop out karena sering bolos sekolah dan kami pun sudah letih rasanya bila harus pulang pergi Bogor-Jakarta setiap sebulan sekali, kami merasa letih hati. Suatu hari ibu memanggilku dan berkata, “Mamat, mama teh sayang banget sama mamat. Mama juga tau kalo mamat ga akan kayak si Aa. Udah cape-cape di sekolain malah jarang masuk. Sing sabar wee atuh... pasti nanti oge aya jalannya. Nu penting yakin..” Aku pun hanya bisa mengangguk-angguk meratapi dan memikirkan masa depan yang semakin suram. Ibuku melanjutkan, “Mama bisa biayain tapi mungkin taun hareup. Mamat kan tau sendiri mama masih punya hutang jeung mama oge kudu meuli susu buat si Indra. Untung aja Wak Ibay sama Wak Nyai mau bantu ngasuh si Andri jadina lebih ringan. Sabarnya...” Akupun hanya bisa bersabar dan berdo’a, aku yakin aku bisa sekolah yang tinggi seperti orang-orang besar dan sehingga dapat membahagiakan ibuku yang tercinta.
Tiga bulan berlalu dari tanggal kelulusanku, semua teman-temanku sudah melanjutkan sekolah mereka ke SMP Negeri yang seharusnya juga menjadi sekolah tempatku menuntut ilmu. Tiba suatu hari dimana aku melihat uwak ku yang dari Jakarta datang....
(Cikarang, May 27, 2009)

1 komentar:

  1. I dont know how I've to comment at this time,but I have a funny story for you.
    pada suatu hari seorang kakek masuk kedalam kamar cucu laki-lakinya yg masih SMP(saat itu cucunya lagi sekolah), dan ketika membuka laci sikakek kaget dg apa yang ditemukannya.Dia menemukan majalah PORNO (terlihat dari covernya).ketika sikakek membuka halaman pertama dia berucap "yaa Allah.....astagfirullah..."
    lalu ia membuka halaman kedua dan dia berkata "yaa Tuhan...masyyaAllah.."kemudian kakek itu membuka halaman berikutnya dan berkata "yaa......aabiss dech......"

    BalasHapus

Silahkan Kasih Masukan