Kamis, 01 Oktober 2009

Long enough

“Komersialisasi Islam”
“sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat…”, itulah sepenggal ayat yang mengisyaratkan kita untuk menyuarakan Islam ke tengah-tengah masyarakat. Menyuarakan Islam atau yang lebih di kenal dengan nama Dakwah dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja. Jika di abad ke 12 masehi dakwah terjadi karena pertemuan antar dua budaya bangsa terutama di pelabuhan, maka saat ini dakwah dapat di temukan di dalam rumah kita sendiri. Jika dulu jaman kerajaan tua orang mencari dakwah hingga ke pelosok bahkan ke luar negeri, maka sekarang dakwah itulah yang mencari orang yang mendengarkan dakwah tersebut. Memang seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam proses dakwah wabil khusus menyuarakan kebenaran Islam.
Dengan berkembangnya dakwah maka banyak pula bermunculan da’I-da’I muda dengan tema-tema yang menarik bahkan mungkin berlebihan. Mulai dari yang bertemakan “Dzikrullah” hingga ke tema yang populer dikalangan orang muda yaitu “Cinta”. Diawali dengan munculnya gamis-gamis putih berambut klimis sampai ke stelan trendi berambut gondrong. Hadirnya muka baru di dunia dakwah adalah hal yang patut di banggakan, sehingga diharapkan masyarakat kita yang plural dan multi karakter dapat memilih tokoh yang mereka sukai. Tapi sungguh disayangkan bila ada segelintir masyarakat yang tidak menyukai sesosok da’I hanya karena temanya dan “tampilannya” kurang berkenan di hati mereka, karena hal tersebut bertentangan dengan yang Allah SWT katakan dalam Al-Qur’an bahwa kita seharusnya menyimak ajaran yang diberikan dan bukanlah menyimak siapa yang memberikan ajaran tersebut. Akibatnya, ketika seorang da’I memiliki karakter yang disukai maka khalayak akan mendengarkan sang da’I, tapi jika da’I tersebut melakukan hal yang tidak disukai khalayak (tapi diperbolehkan oleh Islam) maka da’I tersebut ditinggalkan. Lantas dimana nilai-nilai dakwah yang sesungguhnya, apakah metode dakwah kita yang salah ataukah masyarakat kita yang belum dewasa?
Kini dakwah bukan hanya berbentuk ceramah agama, tabligh akbar, atau tausiah untuk istilah yang sedang trend. Tapi di era canggih ini banyak metode dakwah yang lebih canggih pula, yang sedang booming saat ini adalah dakwah melalui musik. Menarik untuk disimak, band-band seumur jagung dan penyanyi oportunis yang acapkali menggunakan momen besar dalam Islam untuk merilis album rohani (Islami) mereka. Bagus memang jika dibarengi niat tulus menyiarkan Islam, namun jika mereka menggunakan momen tersebut dengan niat mengangkat pamor mereka maka hembusan rohani yang disuarakan menjadi kering tanpa makna dan hampa tanpa isi, yang ada hanya untaian kata-kata yang mubazir saja. Begitu juga dengan para selebritis, bila biasanya berdandan metroseksual yang penuh dengan mudharat, maka di bulan Ramadhan mereka berdandan, bertingkah laku seolah-olah mengenal Islam walau kadang seadanya, dan tentunya selepas bulan suci mereka akan menampakkan wujud asal mereka layaknya bunglon yang tak punya prinsip dan tujuan hidup. ” Innamal a’malu binniat” sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.
Komersialisasi Islam nampaknya menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan seimbangnya antara frekuensi dakwah dengan jumlah kemaksiatan. Serta semakin banyak bermunculan da’i-da’I muda, semakin banyak pula selebritis yang kawin kemudian cerai tanpa menghiraukan dampaknya bagi masyarakat. Hal ini seakan-akan mengindikasikan bahwa aqidah dapat dengan mudah diperoleh dengan materi. Hadirnya para oportunis yang beratasnamakan Islam akan menumpulkan ketajaman dari dakwah itu sendiri, sehingga para konsumen dakwah akan menerima pesan-pesan aqidah dari telinga sebelah kanan dan serta merta mengeluarkannya dari telinga sebelah kiri tanpa disimpan terlebih dahulu di memori dan tanpa dicerna oleh hati. Setiap manusia memang membutuhkan penghidupan akan tetapi memasang tarif untuk melakukan dakwah adalah hal yang keji. Setiap manusia sudah tertulis berapa jumlah rezeki yang akan mereka terima. Janganlah memaksa Islam menghidupi hidup kita, tetapi justru hidup kitalah yang seharusnya menghidupi Islam. Semoga dengan demikian dakwah dan syiar Islam lebih bermakna, bermanfaat, dan lebih punya ‘taste’. Wallahu ‘alam….
(Cikarang, 00.00, Sept. 10, 2009)
Indonesiaku Ironisku IV (Udah Basi belum yach..)
Indonesia memang memiliki budaya yang beraneka ragam dan unik. Bak surga dunia, Indonesia pun di anugerahi sumber daya alam yang melimpah dengan pulau-pulaunya yang menyebar dari timur ke barat dan utara ke selatan. Ditambah lagi dengan keindahan alamnya yang menakjubkan tiada taranya. Malaysia, Thailand, Singapura, Hawaiii mah ‘ga ada apa-apanya. Namun kekurangan Pemerintah Indonesia ialah hanya belum memaksimalkan penggunaan fasilitas promosi untuk memperkenalkan keindahan alam Indonesia. Bandingkan dengan negara-negara tetangga yang jor-joran mempromosikan negaranya yang tidak seberapa besar bahkan ada oknum negara tetangga yang mengklaim budaya asli Indonesia hanya karena budaya dan alamnya yang miskin. Sebagai bangsa besar memang kita tidak boleh sombong dan harus berbesar hati namun bukan berarti membiarkan budaya bangsa yang menjadi identitas diri diseantero dunia di curi bangsa lain.
Banyak cara mempromosikan keindahan alam di Indonesia, mulai dari iklan dokumenter, brosur dan pamflet yang disebarkan melalui Travel Agent yang ada di luar negeri, bahkan pengikutsertaan anak-anak bangsa pada setiap even kompetisi Internasional pun merupakan salah satu bentuk promosi. Meskipun dari bidang olahraga Indonesia cenderung menurun akan tetapi di ajang kompetisi Internasional bergengsi lainnya para kontestan dari negeri ini mampu mengibarkan sang saka merah putih diatas negara-negara lainnya. Beberapa bulan yang lalu adik-adik kita berhasil mengharumkan nama bangsa di Olimpiade Matematika dan Fisika Asia, mereka berhasil mengkoleksi beberapa medali emas, perak, dan perunggu. Tetapi patut disayangkan, di negeri ini nama mereka tidak seharum nama para pemenang kontes-kontes opera sabun di media televisi swasta. Sebagai contoh, manakah yang anda lebih tahu, nama peraih medali emas pada Olimpiade Matematika dan Fisika Junior dua bulan yang lalu? Atau nama peraih Juara Satu pada Kontes Indonesian Idol Junior tahun ini? Saya yakin anda lebih tahu nama pemenang Indo. Idol Junior atau setidak-tidaknya pernah melihat atau mendengarnya di media massa. Dan umumnya para pahlawan intelektual cilik tidak akan mendapatkan fasilitas sebagaimana para pemenang oportunis kontes entertainment, seperti finansial, ketenaran, dan perhatian dari pemerintah sehingga para pahlawan tanpa tanda ketenaran akan terlupakan dalam hitungan hari dimulai dari hari ketika mereka menerima penghargaan di Olimpiade yang bergengsi tersebut. Kemudian siapa yang harus salahkan pemerintahkah atau kita sendirikah? Apakah kita lebih suka terbuai dalam hiburan yang hampa tanpa makna daripada realitas yang dapat membawa bangsa ini menuju ke kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara? Mari kita tanyakan pada uang duaribuan yang bergoyang….
Sudah menjadi tradisi disetiap tahun kita mengirimkan wakil kita pada kontes kecantikan ratu sejagat atau yang lebih dikenal dengan Miss Universe. Memang membanggakan ketika kita dapat menyaksikan kader cantik anggun rupawan bangsa berlaga dalam suatu kontes Internasional terlebih bila di saksikan oleh milyaran pasang mata, namun apakah membanggakan bila Putri perwakilan dari Indonesia membokongi budaya bangsa? Karena sudah sangat jelas bahwa BIKINI bukanlah budaya bangsa Indonesia yang berada diTIMUR dan MAYORiTAS adalah umat ISLAM. Maka janganlah anda kesal dan marah bila budaya bangsa kita diklaim sebuah oknum negara bila wakil kita justru membangga-banggakan budaya bangsa dan peradaban lain, lantas dimana letak IDENTITAS BANGSA kita? Perlu diketahui, orang kulit putih adalah anak-anak Adam yang tidak berpigmen, tidak seperti kita orang asia tenggara, sehingga rentan bagi mereka untuk terkena penyakit terutama penyakit kuning. Untuk dapat menambah kesegaran tubuh, biasanya mereka akan melakukan “Sunbathing” atau mandi sinar matahari dan tentunya akan dilakukan pada musim panas karena dibulan-bulan yang lain tidaklah memungkinkan untuk ‘mandi’. Dan sudah pasti mereka, anak-anak Adam yang tak berpigmen, akan ‘mandi’ dengan pakaian minim terutama bagi kaum hawa yang dapat sangat menggoda iman. Pertanyaannya perlukah orang Indonesia melakukan mandi matahari? (Boleh-boleh saja kalau mau gosong hehehe….). Bandingkan dengan Indonesia, bila di Eropa terdapat empat musim maka negeri kepulauan ini memilki lebih dari empat musim yaitu, musim panas, musim hujan, musim durian, musim kawin, musim mangga, dan masih banyak musim yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berbeda dengan eropa dari segi budaya dan identitas karena di Indonesia tidak ada musim gugur dan di eropa tidak ada musim durian. Untuk itulah, mengirimkan perwakilan ke kontes kecantikan sejagat adalah hal yang bagus dan harus didukung namun bila Putri Indonesia harus berpakaian mini dan vulgar maka itu perlu ditentang dan bila ada yang setuju Putri Indonesia yang oriental dan cantik mengenakan pakaian mini yang tidak sesuai dengan etika, budaya, dan identitas bangsa, maka orang-orang tersebut adalah oknum-oknum yang setuju bila bangsa ini dihinggapi, dinikmati, diambil sarinya, dan lalu ditinggalkan serta dicampakkan begitu saja oleh bangsa lain. Itukah yang disebut dengan semangat Nasionalisme? Hahaha…. I LOVE YOU FULL…….
Wallahu ‘alam…
(Cikarang, 11.24pm, Sept. 13, 2009)

Yuhani Kahara
Musim penghujan hadir tanpa pesan, bawa kenangan lama telah menghilang
Saat yang indah dikau dipelukan setiap nafasmu adalah milikku
Surya terpancar dari wajah kita bagai menghalau mendung kita tiba
Sekejap badai datang mengoyak kedamaian segala musnah
namun gerimis langitpun menangis
kekasih andai saja kau mengerti harusnya kita mampu lewati itu semua
dan bukan menyerah untuk berpisah
kekasih andai saja kau mengerti semua hanya suatu ujian untuk kita berdua
dan bukan alasan untuk berpisah
(Katon Bgskara)




As the light of the sun shineth the greatest saddest heart
As he runth again and again against the shallow soul on earth
Apparently he fadeth away none careth not
Day by day chaseth his lunar never coming to understand
A blurish shadow he meeteth in every latest afternoon
Unless he sleepth for long, he wll keep folding the time
Becometh near lunatic and hardly smileth leaving all dayth of tireness
No hopeth, no remainth, no careth….
He hath to swirl for the sake of tomorrow
He revealeth staineth stand still in secondth
Rolleth as a roller coaster, lunar won’t be shy
She teareth in her mocking laughth
Nevertheless, He hath to be tough as next morning waiteth for his coming
(Cikarang, 01.03am, Sept. 28, 2009)

lebaran gitchu loch

Lebaran Holiday
I was very happy to welcome the coming of Iedul Fitri and I was very excited. Two days before Lebaran, my mother bought me some new clothes. The clothes were very nice. I thanked to my mother for her kind. One of the clothes was a Moslem Shirt or Koko Shirt. The color was blue because I loved blue color. On Takbiran night, my friends and I went to a mosque nearby. We did Takbiran there in a happy feeling and we played around, laughed, and ran all over the places. We were happy because the following morning we could wear our new clothes and of course we would get much money from our parents and relatives. More over in this Ramadhan, I could accomplish the fasting in the whole month. My father had told me before the Ramadhan came that I would get much money from him, my uncles and aunts. I was so excited therefore I slept very late at night after being so tired of laughing, playing, and running.
Finally the day of victory came. I would have overslept if my mother had not waken me up early in the morning. Hardly standing and walking, I forced myself to get into the bathroom. It was very cold but I felt happy because after taking a bath I would wear my new moslem shirt. I wore the new moslem shirt. I saw myself in the mirror and I was very good looking. My family and I went to a mosque near our house to have Iedul Fitri pray. Everybody looked very happy at that time and they wore new clothes too. After praying, we went home but on the way home we met many of our neighbors. We shaked and begged pardon from one to another. Arriving at home, I kissed my mother’s and father’s hands and they kissed my cheeks and said not to be naughty any longer. Then we prepared to have breakfast together, my mother made me a bowl of Ketupat and Chicken Curry. My mother’s cook was so delicious.
On the second day of Lebaran we did not go anywhere. In fact during my holiday, I just played with my Kite and football. Because I did not have a special program so I played Kites with my friends. We played the Kites in a field near my house. I liked playing Kite because it made me enjoy. Sometimes, I had to run to chase a defeated Kite. Even though I had to run fast and far away but I felt very excited. Once in a while my Kite was defeated by another boy but I did not feel sad because I could buy many new Kites. I had much money from on Lebaran Day so I could buy as many Kites as I wanted. When I played Kite, I could play it all day long. Sometimes my mother looked for me when I played too long.
Well, that was my holiday. Nothing was interesting. But I felt happy and joy during my holiday. I hope that I can meet next year’s Ramadhan and celebrate the Lebaran in happiness like this year. Of course I wish to have a long holiday again.