Rabu, 12 Agustus 2009

another things

IS is IS…….
Realistis dalam kehidupan yang serba apatis. Memahami mimpi yang tertutupi pragmatis. Maju terus antara langkah dan dogmatis. Kehidupan terkadang jauh dari teoritis yang rasialis. Demi waktu yang penuh dengan reformis. Saat manusia menjadi paganis mengebiri jati diri dalam dilematis. Metropolis? Urbanis? Menganalisa lika-liku dunia tanpa bukti empiris. Lifestyle lebai yang penuh dengan over konsumis. Atletis dalam mimik ornamentalis. Tiada kandungan isi morphemis. Ayunan tangan dan langkah pacu di dalam lingkaran ironis. Dengusan lagu mendayu yang pesimis. Melankolis membuat hati teriris. Dalam nada dan irama puitis yang tidak realistis dan tiada optimis. Kilau puitis di lingkup mahluk-mahluk oportunis. Mahluk khayalis berkreasi tanpa niat abadi yang statis.
(Cikarang, August 5, 2009)
Biar ku lukis warna dunia dengan api pena yang tajam. Mata pena kerap menggaris jalur kehidupan penuh sukaduka. Kan ku taklukkan pagi, ku kalahkan siang hari, ku libas sore hari, ku patahkan malam hari. Terus maju menantang pedih di depan mata. Menari bersama riuh rendah ketamakan dunia. Hempaskan omong kosong, remeh temeh, isak tangis, keluh kesah dari tendensi jiwa. Bernyanyi bersama ketidak stabilan nyawa. Pecahkan teka-teki perilaku waktu yang mengejek dengan kekeh lalu. Hahaha, kan ku lumpuhkan angkuhnya cobaan menghadang.
9Cikarang, 00.22am, August 7 2009)

Siapa peduli manakala sembilu menyayat. Untuk apa peduli untuk yang terkoyak. Mengapa peduli bagi yang tersingkir. Perlu apa peduli saat mati. Apa guna peduli yang terhempas. Karena apa peduli setiap terdampar.
(Cikarang, August 7, 2009)
Si burung merak telah mangkat. Ia mangkat meninggalkan jejak penuh dengan isyarat . ia tinggalkan podiumnya yang kerap menemani kala susah dan gelisah, kala senang dan bahagia. Ia wasiatkan indah bulunya untuk menghiasi rangkaian mutiara bangsa. Bangsa ini merunduk seiring awan kelabu mengiringi kepakannya. Tiada kata yang sanggup menafsirkan kepergiannya. Hanya mampu berkata “Sang Burung Merak kini telah terbang mengumandang”. Bukanlah ke angkasa ia terbang, bukan ke cakrawala ia mengumandang. Ia terbang mengumandang dengan bebas seperti sedia kala. Ia mengepak menuju peraduan akhir.” Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
“kesadaran adalah nurani, kesabaran adalah mata hati, keberanian menjadi sahabat sejati. Dan perjuangan adalah langkah perwujudan mimpi-mimpi”.
(Cikarang, August 9, 2009)

Pagi itu di Jakarta terasa padat. Kuda-kuda bermesin berlomba-lomba merebut satu dua inci jalan dihadapan mereka berrebut tak mau kalah. Dengusan nafas mesin berbahan bakar seolah bernyanyi mengikuti irama sinar matahari yang semakin merangkak tinggi dengan cahayanya yang menyengatkan. Gemulai asap knalpot yang hitam legam ikut menyemarakkan keresahan para pengais kesempatan membuka harinya. Siul klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga datar tanpa nada. Pagi itu Gatot Subroto terasa seperti biasa padat, pikuk, meratap, dan merayap. Saat itu pukul tujuh lebih, di antara raungan mesin kendaraan, liukan asap knalpot hitam, dan siulan klakson tanpa jemu, mereka menangis histeris di sisi lain kota Jakarta. Mereka berdarah, tercabik berterbangan, entah tangan entah kepala. Mereka terpaksa menutup mata dalam ketidaktahuan mereka. Hidup Mereka di rampas tanpa mengerti apa maksudnya. Mereka terkapar dalam kebingungan. Mereka meregang nyawa di tengah hiruk pikuk Jakarta.
(Cikarang, August 11, 2009)
Entah apa yang ingin ku ungkapkan. Hanyalah kebingungan akan apa yang ku suguhkan kali ini. Bingung tanpa tema. Keruh tiada makna. Andai aku tidak bingung kenapa aku bingung. Aku pun tidak tahu mengapa aku tidak tahu. Aneh, memang aneh kalau sedang aneh. Heran, mengapa semua ini begitu mengherankan.
(Cikarang, 00.18am, august 12, 2009)
Ketika bumi menolak kehadirannya
Malang nian nasibnya terbujur tanpa nyawa. Tiada istri dan buah hati menghantarkannya tidur di liang lahat. Bahkan kampung halaman menolak jasadnya. Entah apa yang dilakukan oleh ruhnya. Menangiskah? Tertawakah? Tersenyumkah? Bilakah ia menangis jika ia tewas atas nama agama? Mungkinkah ia tertawa apabila tewasnya menewaskan pula orang lain? Dapatkah ia tersenyum jikalau keluarganya menanggung malu dan derita atas kepergiannya? Wallahu alam. Uh.. manusia… apa yang dicarinya… hingga keyakinan pun dikorbankan hanya demi sebuah kepentingan. Keyakinan dipertaruhkan demi sebuah kepentingan yang bahkan mereka sendiri tidak tahu untuk apa kepentingan tersebut. Ah… manusia… sungguhpun keyakinan dibuat untuk kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan bukan untuk kepentingan yang menghancurkan. Itulah manusia bila sudah terbuai dunia. Tuhan pun di jadikan permainan.
(Cikarang, 01.14 am, August 13, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Kasih Masukan