Minggu, 06 September 2009

mondayy

Berikan sisa waktumu untuk dapat kita kenang. Dalam paruh napas kita bersama. Merajut mimpi berdua. Merangkai bunga kehidupa berdua di bawah lindungan cinta yang abadi. Tiada kerikil yang mampu menyakiti langkah kita. Tiada debu yang mampu menyakiti mata hati kita. Hingga sampai datang badai yang sering kali hadir namun kali ini lebih besar dan mengganggu kedamaian hati kita. Segera musnah harapan mimpi sedari awal. Dengan sebuah badai yang hanya beberapa saat mengaburkan ribuan rintangan yang teratasi dulu. Hanya dengan sebuah badai terlupakanlah janji hati. Hanya dengan sebuah badai tercorenglah janji suci. Hanya dengan badai terpisahlah dua kasih abadi. Hanya dengan badai yang seharusnya dapat dilawan dengan keteguhan hati. Kini keteguhan hati telah mati tiada arti.
(Cikarang, August 15, 2009)
Adalah kepentingan
Hancur lebur, terkoyak moyak sendi-sendi persaudaraan dalam kebersamaan. Peluru dan misil dimuntahkan dari orang-orang tidak paham menuju ke orang-orang awam. Hidup kini telah menjadi mimpi buruk hanya atas nama kepentingan. Kepentingan buta melumpuhkan tonggak persatuan sesama. Pemberontakan, pemboman, pembunuhan terjadi atas nama kepentingan. Bukan kepentingan agama. Bukanlah kepentingan bersama. Akan tetapi kepentingan perut dan kekuasaan semata. Mereka yang diatas tidak akan pernah peduli seberapa perih penderitaan mereka yang teraniaya. Materi dan kekuasaan jadi titik tolak kesengsaraan. Adalah kaum hedonis yang metropolis tidak sadar atas kehancuran yang terjadi karena ulah mereka sendiri. Maka hiduplah atas nama kejujuran hati, kedamaian jiwa, ketenangan akal, dan keagungan Tuhan.
(cikarang, August 15, 2009)
Dalam kebodohan yang membutakan mata.
Ketika kekuatan tidak berarti apa-apa
Saat tak satu kekuatan apapun yang sanggup menahan amarah diraja. Manakala mulut kehilangan makna dan ternganga. Ketika rasio manusia tak sanggup berbicara. Hanya hening dalam mimpi berkata Diraja dalam amarah kuasa. Saat manusia terjebak dalam analisanya. Tiada tuntunan menyertai jiwa terpaku bencana. Hanya dingin dalam menusuk berujar Diraja berpaling tinggalkan hamba…
(Cikarang, August 26, 2009)






Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
Malaysia negara dua petak
Malaysia negara plagiat
Malaysia negara tak beretika
Malaysia negara tak berbudaya
Malaysia negara biang teroris
Malaysia negara provokator
Malaysia negara tak berpendirian
Malaysia negara tak tahu terima kasih
Malaysia negara tidak berkeprikemanusiaan
Malaysia negara serakah
Malaysia negara arogan
Malaysia 20.000.000 Indonesia punya 200.000.000
Malaysia punya dua petak Indonesia berpetak-petak
Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
(Cikarang, August 28, 2009)
Penting
Saat agama dipertaruhkan demi sebuah kepentingan. Dalil-dalil diputarbalikkan hanya demi kepentingan. Sebuah Persaudaraan di acak-acak demi sebuah kepentingan. Kebudayaan di koyak-koyak demi sebuah kepentingan. Persatuan di obok-obok demi sebuah kepentingan. Nasionalisme di aduk-aduk atas nama kepentingan. Keteguhan hati diperlemah oleh sebuah kepentingan. Kemerdekaan di susutkan oleh kepentingan. Wahai kepentingan apa yang membuatmu begitu sadis menghancurkan sebuah bangsa. Kepentingan yang tercipta oleh keinginan yang tak terkendali.
(Cikarang, August 28, 2009)
Malam itu di bulan Agustus
Malam itu sepasang merpati bersama-sama menjalin mimpi di emperan jalan yang pikuk dengan angkot-angkot, truk-truk besar serta lalu lalang sepeda motor yang kadang serampangan. Berjalan berdampingan menyusuri pinggiran jalan keringat mereka. Berdua merajut kebahagiaan di tengah panasnya Cikarang. Menyulam masa depan dalam ketidaktahuan dan ambiguitas. Malam itu langit terasa sesak dicekoki asap knalpot dan asap pabrik sekitar. Malam itu semakin larut mambuai mereka untuk terlena di sarang kehampaan. Malam itu semakin larut meninggalkan rasa yang pekat dan asa yang kian tersiksa. Malam itu di bulan Agustus.
(Bekasi, August 29, 2009)
Bekasi-Cikarang
Terbentang jalan menyusuri jalur pantura meretas mimpi di antara Bekasi-Cikarang. Laju sepeda motor membangkitkan hasrat pada kenangan warna-warni kala lalu. Antara Bekasi-Cikarang tersimpan gundah lampau menyisakan amarah sendu terpaku. Pilu laksana langit berawan tiada berhujan. Ragu, tatkala angin menyeruak menghempaskan harapan. Tertatih-tatih di tempa kehidupan dalam kelam dan mulut yang terdiam. Antara Bekasi-Cikarang jauh dari buaian bunda yang bermuram. Saat hati terus dirajam serta bertambah geram. Antara Bekasi-Cikarang, tersaput mimpi dihempas sepi.
(Bekasi, September 1, 2009)
4YH
Mungkin kini tiada cerita
Saat hati terluka oleh goresan tinta
Merajut kembali cerita dalam keterharuan jiwa
Langkah terus berharap antara hingar bingar Bekasi-Cikarang
Terlunta-lunta tanpa kisah cerita
Ketika senja merangkak naik di jiwa
Tersayat-sayat tiada luka
Manakala hiruk pikuk kelelawar malam
Berterbangan di belahan hidup Cikarang
Tiada sadar ku berada di tengah-tengah rasa
Tiada anugerah kurasa menegur jiwa
Kala Cikarangku meninggalkan harapan
Ketika Cikarangku hempaskan dogma
Saat Cikarangku menodai keteguhan jiwa
(Bekasi, Sept. 3, 2009)

Di seberang jalan yang mulai sepi di lewati kulihat para muda bercengkerama diwarung kelontong menemani malam yang terus melarut dalam pekat. Kedai pecel lele yang jadi langganan pun kini telah sunyi tanpa pembeli, nampaknya semua pelayan tengah bersiap-siap untuk berselimut. Melangkah diriku menyusuri remang jalan Industri yang mulai di tinggalkan. Resah dalam naungan lampu jalanan. Di jalan beton itulah dulu pernah terjalin cerita di atas roda sepeda motor. Cerita seru yang meneguhkan jiwa dalam meniti takdirNya. Kini cerita itu telah berlalu seiring kerlip bintang yang kian redup dan bulan yang semakin menjauh dari belahan sisi tergelap Cikarang. Namun malam mengharuskan diri untuk berjalan meniti tepian jalan berdebu. Dalam Lelah jiwa untuk meratap nafas yang tersengal ditempa harapan yang sirna tertelan waktu. Langit malam terus berpragmatis meski realitas tak terpungkiri. Bertebar awan hitam mengancam dengan hujannya, angin berhembus kencang menyapu diri dari lamunan sendu. Kupercepat langkah ke arah kost milik Pak Haji Ali. Langkah kaki masuk bersama dengan turun hujan seakan langit ingin mencurahkan bebannya selama ini.
(Cikarang, 00.48 am, Sept. 6, 2009)
Teruntuk rindu yang terus berpindah dari satu rindu ke rindu yang lain
Teruntuk kisah yang selalu hinggap dari satu kisah ke kisah yang lain
Teruntuk kasih yang tiada pernah tentu di pelbagai kasih
Teruntuk cinta yang senantiasa bersenandung dari satu cerita ke cerita yang lain
Teruntuk hati yang lelah menebar asa dalam fana dunia
Teruntuk sepi yang siap hadir di celah ruang nafas
Teruntuk hari yang membawa hidup dalam halaman baru
Teruntuk dewi yang mungkin akan menemani
Menghantarkan diri antara satu mimpi ke mimpi yang baru….
(Cikarang, 10.50 pm, Sept. 6, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Kasih Masukan