Harum Nursing Academy
MIDTEST Score of the 3rd Semester
English for Nurses
1.Achmad Imron [72]
2.Adam [50]
3.Andriana Airin Pesa [60]
4.Andrianus [62]
5.Asmita Berla [58]
6.Bernadeta Lilis [80]
7.Desi Haryani [74]
8.Destiana [50]
9.Dewiana [58]
10.Dwi Purnama Sari [72]
11.Erasmos [62]
12.Erlin Setiawanti [64]
13.Etna Octesia P [68]
14.Feri Juliansyah [40]
15.Fitri Nastiti [68]
16.Frelisma Dita [60]
17.Hera Nopramita Jayu [64]
18.Heri Dambertus [54]
19.Herlina [64]
20.Imam Riyadi [70]
21.Irma Lestari [68]
22.Iwan Fales [52]
23.Jamian [62]
24.Joni Oktavianus [42]
25.Kardalius [52]
26.Kornelius
27.Krispina Natalia [64]
28.Laysem [54]
29.Leli Kurniati [78]
30.Lisa Willen [60]
31.Lutviyani [70]
32.Maria Triani [42]
33.Marten Andes [54]
34.Mastina [54]
35.Melyana [68]
36.Minasih [40]
37.Nonong [58]
38.Nur Komala Sari [82]
39.Parlindina [56]
40.Prillisma Elen [62]
41.Riayanti [66]
42.Serly Jackson K [68]
43.Sikti Juleha [72]
44.Sunny Varinia [46]
45.Tamaryati [52]
46.Titi Suhardinah [64]
47.Wiwi Parianti [70]
48.Yuliana Eka Putri [78]
49.Yutino Rosendri [54]
Kamis, 17 Desember 2009
Kamis, 01 Oktober 2009
Long enough
“Komersialisasi Islam”
“sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat…”, itulah sepenggal ayat yang mengisyaratkan kita untuk menyuarakan Islam ke tengah-tengah masyarakat. Menyuarakan Islam atau yang lebih di kenal dengan nama Dakwah dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja. Jika di abad ke 12 masehi dakwah terjadi karena pertemuan antar dua budaya bangsa terutama di pelabuhan, maka saat ini dakwah dapat di temukan di dalam rumah kita sendiri. Jika dulu jaman kerajaan tua orang mencari dakwah hingga ke pelosok bahkan ke luar negeri, maka sekarang dakwah itulah yang mencari orang yang mendengarkan dakwah tersebut. Memang seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam proses dakwah wabil khusus menyuarakan kebenaran Islam.
Dengan berkembangnya dakwah maka banyak pula bermunculan da’I-da’I muda dengan tema-tema yang menarik bahkan mungkin berlebihan. Mulai dari yang bertemakan “Dzikrullah” hingga ke tema yang populer dikalangan orang muda yaitu “Cinta”. Diawali dengan munculnya gamis-gamis putih berambut klimis sampai ke stelan trendi berambut gondrong. Hadirnya muka baru di dunia dakwah adalah hal yang patut di banggakan, sehingga diharapkan masyarakat kita yang plural dan multi karakter dapat memilih tokoh yang mereka sukai. Tapi sungguh disayangkan bila ada segelintir masyarakat yang tidak menyukai sesosok da’I hanya karena temanya dan “tampilannya” kurang berkenan di hati mereka, karena hal tersebut bertentangan dengan yang Allah SWT katakan dalam Al-Qur’an bahwa kita seharusnya menyimak ajaran yang diberikan dan bukanlah menyimak siapa yang memberikan ajaran tersebut. Akibatnya, ketika seorang da’I memiliki karakter yang disukai maka khalayak akan mendengarkan sang da’I, tapi jika da’I tersebut melakukan hal yang tidak disukai khalayak (tapi diperbolehkan oleh Islam) maka da’I tersebut ditinggalkan. Lantas dimana nilai-nilai dakwah yang sesungguhnya, apakah metode dakwah kita yang salah ataukah masyarakat kita yang belum dewasa?
Kini dakwah bukan hanya berbentuk ceramah agama, tabligh akbar, atau tausiah untuk istilah yang sedang trend. Tapi di era canggih ini banyak metode dakwah yang lebih canggih pula, yang sedang booming saat ini adalah dakwah melalui musik. Menarik untuk disimak, band-band seumur jagung dan penyanyi oportunis yang acapkali menggunakan momen besar dalam Islam untuk merilis album rohani (Islami) mereka. Bagus memang jika dibarengi niat tulus menyiarkan Islam, namun jika mereka menggunakan momen tersebut dengan niat mengangkat pamor mereka maka hembusan rohani yang disuarakan menjadi kering tanpa makna dan hampa tanpa isi, yang ada hanya untaian kata-kata yang mubazir saja. Begitu juga dengan para selebritis, bila biasanya berdandan metroseksual yang penuh dengan mudharat, maka di bulan Ramadhan mereka berdandan, bertingkah laku seolah-olah mengenal Islam walau kadang seadanya, dan tentunya selepas bulan suci mereka akan menampakkan wujud asal mereka layaknya bunglon yang tak punya prinsip dan tujuan hidup. ” Innamal a’malu binniat” sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.
Komersialisasi Islam nampaknya menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan seimbangnya antara frekuensi dakwah dengan jumlah kemaksiatan. Serta semakin banyak bermunculan da’i-da’I muda, semakin banyak pula selebritis yang kawin kemudian cerai tanpa menghiraukan dampaknya bagi masyarakat. Hal ini seakan-akan mengindikasikan bahwa aqidah dapat dengan mudah diperoleh dengan materi. Hadirnya para oportunis yang beratasnamakan Islam akan menumpulkan ketajaman dari dakwah itu sendiri, sehingga para konsumen dakwah akan menerima pesan-pesan aqidah dari telinga sebelah kanan dan serta merta mengeluarkannya dari telinga sebelah kiri tanpa disimpan terlebih dahulu di memori dan tanpa dicerna oleh hati. Setiap manusia memang membutuhkan penghidupan akan tetapi memasang tarif untuk melakukan dakwah adalah hal yang keji. Setiap manusia sudah tertulis berapa jumlah rezeki yang akan mereka terima. Janganlah memaksa Islam menghidupi hidup kita, tetapi justru hidup kitalah yang seharusnya menghidupi Islam. Semoga dengan demikian dakwah dan syiar Islam lebih bermakna, bermanfaat, dan lebih punya ‘taste’. Wallahu ‘alam….
(Cikarang, 00.00, Sept. 10, 2009)
Indonesiaku Ironisku IV (Udah Basi belum yach..)
Indonesia memang memiliki budaya yang beraneka ragam dan unik. Bak surga dunia, Indonesia pun di anugerahi sumber daya alam yang melimpah dengan pulau-pulaunya yang menyebar dari timur ke barat dan utara ke selatan. Ditambah lagi dengan keindahan alamnya yang menakjubkan tiada taranya. Malaysia, Thailand, Singapura, Hawaiii mah ‘ga ada apa-apanya. Namun kekurangan Pemerintah Indonesia ialah hanya belum memaksimalkan penggunaan fasilitas promosi untuk memperkenalkan keindahan alam Indonesia. Bandingkan dengan negara-negara tetangga yang jor-joran mempromosikan negaranya yang tidak seberapa besar bahkan ada oknum negara tetangga yang mengklaim budaya asli Indonesia hanya karena budaya dan alamnya yang miskin. Sebagai bangsa besar memang kita tidak boleh sombong dan harus berbesar hati namun bukan berarti membiarkan budaya bangsa yang menjadi identitas diri diseantero dunia di curi bangsa lain.
Banyak cara mempromosikan keindahan alam di Indonesia, mulai dari iklan dokumenter, brosur dan pamflet yang disebarkan melalui Travel Agent yang ada di luar negeri, bahkan pengikutsertaan anak-anak bangsa pada setiap even kompetisi Internasional pun merupakan salah satu bentuk promosi. Meskipun dari bidang olahraga Indonesia cenderung menurun akan tetapi di ajang kompetisi Internasional bergengsi lainnya para kontestan dari negeri ini mampu mengibarkan sang saka merah putih diatas negara-negara lainnya. Beberapa bulan yang lalu adik-adik kita berhasil mengharumkan nama bangsa di Olimpiade Matematika dan Fisika Asia, mereka berhasil mengkoleksi beberapa medali emas, perak, dan perunggu. Tetapi patut disayangkan, di negeri ini nama mereka tidak seharum nama para pemenang kontes-kontes opera sabun di media televisi swasta. Sebagai contoh, manakah yang anda lebih tahu, nama peraih medali emas pada Olimpiade Matematika dan Fisika Junior dua bulan yang lalu? Atau nama peraih Juara Satu pada Kontes Indonesian Idol Junior tahun ini? Saya yakin anda lebih tahu nama pemenang Indo. Idol Junior atau setidak-tidaknya pernah melihat atau mendengarnya di media massa. Dan umumnya para pahlawan intelektual cilik tidak akan mendapatkan fasilitas sebagaimana para pemenang oportunis kontes entertainment, seperti finansial, ketenaran, dan perhatian dari pemerintah sehingga para pahlawan tanpa tanda ketenaran akan terlupakan dalam hitungan hari dimulai dari hari ketika mereka menerima penghargaan di Olimpiade yang bergengsi tersebut. Kemudian siapa yang harus salahkan pemerintahkah atau kita sendirikah? Apakah kita lebih suka terbuai dalam hiburan yang hampa tanpa makna daripada realitas yang dapat membawa bangsa ini menuju ke kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara? Mari kita tanyakan pada uang duaribuan yang bergoyang….
Sudah menjadi tradisi disetiap tahun kita mengirimkan wakil kita pada kontes kecantikan ratu sejagat atau yang lebih dikenal dengan Miss Universe. Memang membanggakan ketika kita dapat menyaksikan kader cantik anggun rupawan bangsa berlaga dalam suatu kontes Internasional terlebih bila di saksikan oleh milyaran pasang mata, namun apakah membanggakan bila Putri perwakilan dari Indonesia membokongi budaya bangsa? Karena sudah sangat jelas bahwa BIKINI bukanlah budaya bangsa Indonesia yang berada diTIMUR dan MAYORiTAS adalah umat ISLAM. Maka janganlah anda kesal dan marah bila budaya bangsa kita diklaim sebuah oknum negara bila wakil kita justru membangga-banggakan budaya bangsa dan peradaban lain, lantas dimana letak IDENTITAS BANGSA kita? Perlu diketahui, orang kulit putih adalah anak-anak Adam yang tidak berpigmen, tidak seperti kita orang asia tenggara, sehingga rentan bagi mereka untuk terkena penyakit terutama penyakit kuning. Untuk dapat menambah kesegaran tubuh, biasanya mereka akan melakukan “Sunbathing” atau mandi sinar matahari dan tentunya akan dilakukan pada musim panas karena dibulan-bulan yang lain tidaklah memungkinkan untuk ‘mandi’. Dan sudah pasti mereka, anak-anak Adam yang tak berpigmen, akan ‘mandi’ dengan pakaian minim terutama bagi kaum hawa yang dapat sangat menggoda iman. Pertanyaannya perlukah orang Indonesia melakukan mandi matahari? (Boleh-boleh saja kalau mau gosong hehehe….). Bandingkan dengan Indonesia, bila di Eropa terdapat empat musim maka negeri kepulauan ini memilki lebih dari empat musim yaitu, musim panas, musim hujan, musim durian, musim kawin, musim mangga, dan masih banyak musim yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berbeda dengan eropa dari segi budaya dan identitas karena di Indonesia tidak ada musim gugur dan di eropa tidak ada musim durian. Untuk itulah, mengirimkan perwakilan ke kontes kecantikan sejagat adalah hal yang bagus dan harus didukung namun bila Putri Indonesia harus berpakaian mini dan vulgar maka itu perlu ditentang dan bila ada yang setuju Putri Indonesia yang oriental dan cantik mengenakan pakaian mini yang tidak sesuai dengan etika, budaya, dan identitas bangsa, maka orang-orang tersebut adalah oknum-oknum yang setuju bila bangsa ini dihinggapi, dinikmati, diambil sarinya, dan lalu ditinggalkan serta dicampakkan begitu saja oleh bangsa lain. Itukah yang disebut dengan semangat Nasionalisme? Hahaha…. I LOVE YOU FULL…….
Wallahu ‘alam…
(Cikarang, 11.24pm, Sept. 13, 2009)
Yuhani Kahara
Musim penghujan hadir tanpa pesan, bawa kenangan lama telah menghilang
Saat yang indah dikau dipelukan setiap nafasmu adalah milikku
Surya terpancar dari wajah kita bagai menghalau mendung kita tiba
Sekejap badai datang mengoyak kedamaian segala musnah
namun gerimis langitpun menangis
kekasih andai saja kau mengerti harusnya kita mampu lewati itu semua
dan bukan menyerah untuk berpisah
kekasih andai saja kau mengerti semua hanya suatu ujian untuk kita berdua
dan bukan alasan untuk berpisah
(Katon Bgskara)
As the light of the sun shineth the greatest saddest heart
As he runth again and again against the shallow soul on earth
Apparently he fadeth away none careth not
Day by day chaseth his lunar never coming to understand
A blurish shadow he meeteth in every latest afternoon
Unless he sleepth for long, he wll keep folding the time
Becometh near lunatic and hardly smileth leaving all dayth of tireness
No hopeth, no remainth, no careth….
He hath to swirl for the sake of tomorrow
He revealeth staineth stand still in secondth
Rolleth as a roller coaster, lunar won’t be shy
She teareth in her mocking laughth
Nevertheless, He hath to be tough as next morning waiteth for his coming
(Cikarang, 01.03am, Sept. 28, 2009)
“sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat…”, itulah sepenggal ayat yang mengisyaratkan kita untuk menyuarakan Islam ke tengah-tengah masyarakat. Menyuarakan Islam atau yang lebih di kenal dengan nama Dakwah dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja. Jika di abad ke 12 masehi dakwah terjadi karena pertemuan antar dua budaya bangsa terutama di pelabuhan, maka saat ini dakwah dapat di temukan di dalam rumah kita sendiri. Jika dulu jaman kerajaan tua orang mencari dakwah hingga ke pelosok bahkan ke luar negeri, maka sekarang dakwah itulah yang mencari orang yang mendengarkan dakwah tersebut. Memang seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam proses dakwah wabil khusus menyuarakan kebenaran Islam.
Dengan berkembangnya dakwah maka banyak pula bermunculan da’I-da’I muda dengan tema-tema yang menarik bahkan mungkin berlebihan. Mulai dari yang bertemakan “Dzikrullah” hingga ke tema yang populer dikalangan orang muda yaitu “Cinta”. Diawali dengan munculnya gamis-gamis putih berambut klimis sampai ke stelan trendi berambut gondrong. Hadirnya muka baru di dunia dakwah adalah hal yang patut di banggakan, sehingga diharapkan masyarakat kita yang plural dan multi karakter dapat memilih tokoh yang mereka sukai. Tapi sungguh disayangkan bila ada segelintir masyarakat yang tidak menyukai sesosok da’I hanya karena temanya dan “tampilannya” kurang berkenan di hati mereka, karena hal tersebut bertentangan dengan yang Allah SWT katakan dalam Al-Qur’an bahwa kita seharusnya menyimak ajaran yang diberikan dan bukanlah menyimak siapa yang memberikan ajaran tersebut. Akibatnya, ketika seorang da’I memiliki karakter yang disukai maka khalayak akan mendengarkan sang da’I, tapi jika da’I tersebut melakukan hal yang tidak disukai khalayak (tapi diperbolehkan oleh Islam) maka da’I tersebut ditinggalkan. Lantas dimana nilai-nilai dakwah yang sesungguhnya, apakah metode dakwah kita yang salah ataukah masyarakat kita yang belum dewasa?
Kini dakwah bukan hanya berbentuk ceramah agama, tabligh akbar, atau tausiah untuk istilah yang sedang trend. Tapi di era canggih ini banyak metode dakwah yang lebih canggih pula, yang sedang booming saat ini adalah dakwah melalui musik. Menarik untuk disimak, band-band seumur jagung dan penyanyi oportunis yang acapkali menggunakan momen besar dalam Islam untuk merilis album rohani (Islami) mereka. Bagus memang jika dibarengi niat tulus menyiarkan Islam, namun jika mereka menggunakan momen tersebut dengan niat mengangkat pamor mereka maka hembusan rohani yang disuarakan menjadi kering tanpa makna dan hampa tanpa isi, yang ada hanya untaian kata-kata yang mubazir saja. Begitu juga dengan para selebritis, bila biasanya berdandan metroseksual yang penuh dengan mudharat, maka di bulan Ramadhan mereka berdandan, bertingkah laku seolah-olah mengenal Islam walau kadang seadanya, dan tentunya selepas bulan suci mereka akan menampakkan wujud asal mereka layaknya bunglon yang tak punya prinsip dan tujuan hidup. ” Innamal a’malu binniat” sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.
Komersialisasi Islam nampaknya menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan seimbangnya antara frekuensi dakwah dengan jumlah kemaksiatan. Serta semakin banyak bermunculan da’i-da’I muda, semakin banyak pula selebritis yang kawin kemudian cerai tanpa menghiraukan dampaknya bagi masyarakat. Hal ini seakan-akan mengindikasikan bahwa aqidah dapat dengan mudah diperoleh dengan materi. Hadirnya para oportunis yang beratasnamakan Islam akan menumpulkan ketajaman dari dakwah itu sendiri, sehingga para konsumen dakwah akan menerima pesan-pesan aqidah dari telinga sebelah kanan dan serta merta mengeluarkannya dari telinga sebelah kiri tanpa disimpan terlebih dahulu di memori dan tanpa dicerna oleh hati. Setiap manusia memang membutuhkan penghidupan akan tetapi memasang tarif untuk melakukan dakwah adalah hal yang keji. Setiap manusia sudah tertulis berapa jumlah rezeki yang akan mereka terima. Janganlah memaksa Islam menghidupi hidup kita, tetapi justru hidup kitalah yang seharusnya menghidupi Islam. Semoga dengan demikian dakwah dan syiar Islam lebih bermakna, bermanfaat, dan lebih punya ‘taste’. Wallahu ‘alam….
(Cikarang, 00.00, Sept. 10, 2009)
Indonesiaku Ironisku IV (Udah Basi belum yach..)
Indonesia memang memiliki budaya yang beraneka ragam dan unik. Bak surga dunia, Indonesia pun di anugerahi sumber daya alam yang melimpah dengan pulau-pulaunya yang menyebar dari timur ke barat dan utara ke selatan. Ditambah lagi dengan keindahan alamnya yang menakjubkan tiada taranya. Malaysia, Thailand, Singapura, Hawaiii mah ‘ga ada apa-apanya. Namun kekurangan Pemerintah Indonesia ialah hanya belum memaksimalkan penggunaan fasilitas promosi untuk memperkenalkan keindahan alam Indonesia. Bandingkan dengan negara-negara tetangga yang jor-joran mempromosikan negaranya yang tidak seberapa besar bahkan ada oknum negara tetangga yang mengklaim budaya asli Indonesia hanya karena budaya dan alamnya yang miskin. Sebagai bangsa besar memang kita tidak boleh sombong dan harus berbesar hati namun bukan berarti membiarkan budaya bangsa yang menjadi identitas diri diseantero dunia di curi bangsa lain.
Banyak cara mempromosikan keindahan alam di Indonesia, mulai dari iklan dokumenter, brosur dan pamflet yang disebarkan melalui Travel Agent yang ada di luar negeri, bahkan pengikutsertaan anak-anak bangsa pada setiap even kompetisi Internasional pun merupakan salah satu bentuk promosi. Meskipun dari bidang olahraga Indonesia cenderung menurun akan tetapi di ajang kompetisi Internasional bergengsi lainnya para kontestan dari negeri ini mampu mengibarkan sang saka merah putih diatas negara-negara lainnya. Beberapa bulan yang lalu adik-adik kita berhasil mengharumkan nama bangsa di Olimpiade Matematika dan Fisika Asia, mereka berhasil mengkoleksi beberapa medali emas, perak, dan perunggu. Tetapi patut disayangkan, di negeri ini nama mereka tidak seharum nama para pemenang kontes-kontes opera sabun di media televisi swasta. Sebagai contoh, manakah yang anda lebih tahu, nama peraih medali emas pada Olimpiade Matematika dan Fisika Junior dua bulan yang lalu? Atau nama peraih Juara Satu pada Kontes Indonesian Idol Junior tahun ini? Saya yakin anda lebih tahu nama pemenang Indo. Idol Junior atau setidak-tidaknya pernah melihat atau mendengarnya di media massa. Dan umumnya para pahlawan intelektual cilik tidak akan mendapatkan fasilitas sebagaimana para pemenang oportunis kontes entertainment, seperti finansial, ketenaran, dan perhatian dari pemerintah sehingga para pahlawan tanpa tanda ketenaran akan terlupakan dalam hitungan hari dimulai dari hari ketika mereka menerima penghargaan di Olimpiade yang bergengsi tersebut. Kemudian siapa yang harus salahkan pemerintahkah atau kita sendirikah? Apakah kita lebih suka terbuai dalam hiburan yang hampa tanpa makna daripada realitas yang dapat membawa bangsa ini menuju ke kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara? Mari kita tanyakan pada uang duaribuan yang bergoyang….
Sudah menjadi tradisi disetiap tahun kita mengirimkan wakil kita pada kontes kecantikan ratu sejagat atau yang lebih dikenal dengan Miss Universe. Memang membanggakan ketika kita dapat menyaksikan kader cantik anggun rupawan bangsa berlaga dalam suatu kontes Internasional terlebih bila di saksikan oleh milyaran pasang mata, namun apakah membanggakan bila Putri perwakilan dari Indonesia membokongi budaya bangsa? Karena sudah sangat jelas bahwa BIKINI bukanlah budaya bangsa Indonesia yang berada diTIMUR dan MAYORiTAS adalah umat ISLAM. Maka janganlah anda kesal dan marah bila budaya bangsa kita diklaim sebuah oknum negara bila wakil kita justru membangga-banggakan budaya bangsa dan peradaban lain, lantas dimana letak IDENTITAS BANGSA kita? Perlu diketahui, orang kulit putih adalah anak-anak Adam yang tidak berpigmen, tidak seperti kita orang asia tenggara, sehingga rentan bagi mereka untuk terkena penyakit terutama penyakit kuning. Untuk dapat menambah kesegaran tubuh, biasanya mereka akan melakukan “Sunbathing” atau mandi sinar matahari dan tentunya akan dilakukan pada musim panas karena dibulan-bulan yang lain tidaklah memungkinkan untuk ‘mandi’. Dan sudah pasti mereka, anak-anak Adam yang tak berpigmen, akan ‘mandi’ dengan pakaian minim terutama bagi kaum hawa yang dapat sangat menggoda iman. Pertanyaannya perlukah orang Indonesia melakukan mandi matahari? (Boleh-boleh saja kalau mau gosong hehehe….). Bandingkan dengan Indonesia, bila di Eropa terdapat empat musim maka negeri kepulauan ini memilki lebih dari empat musim yaitu, musim panas, musim hujan, musim durian, musim kawin, musim mangga, dan masih banyak musim yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berbeda dengan eropa dari segi budaya dan identitas karena di Indonesia tidak ada musim gugur dan di eropa tidak ada musim durian. Untuk itulah, mengirimkan perwakilan ke kontes kecantikan sejagat adalah hal yang bagus dan harus didukung namun bila Putri Indonesia harus berpakaian mini dan vulgar maka itu perlu ditentang dan bila ada yang setuju Putri Indonesia yang oriental dan cantik mengenakan pakaian mini yang tidak sesuai dengan etika, budaya, dan identitas bangsa, maka orang-orang tersebut adalah oknum-oknum yang setuju bila bangsa ini dihinggapi, dinikmati, diambil sarinya, dan lalu ditinggalkan serta dicampakkan begitu saja oleh bangsa lain. Itukah yang disebut dengan semangat Nasionalisme? Hahaha…. I LOVE YOU FULL…….
Wallahu ‘alam…
(Cikarang, 11.24pm, Sept. 13, 2009)
Yuhani Kahara
Musim penghujan hadir tanpa pesan, bawa kenangan lama telah menghilang
Saat yang indah dikau dipelukan setiap nafasmu adalah milikku
Surya terpancar dari wajah kita bagai menghalau mendung kita tiba
Sekejap badai datang mengoyak kedamaian segala musnah
namun gerimis langitpun menangis
kekasih andai saja kau mengerti harusnya kita mampu lewati itu semua
dan bukan menyerah untuk berpisah
kekasih andai saja kau mengerti semua hanya suatu ujian untuk kita berdua
dan bukan alasan untuk berpisah
(Katon Bgskara)
As the light of the sun shineth the greatest saddest heart
As he runth again and again against the shallow soul on earth
Apparently he fadeth away none careth not
Day by day chaseth his lunar never coming to understand
A blurish shadow he meeteth in every latest afternoon
Unless he sleepth for long, he wll keep folding the time
Becometh near lunatic and hardly smileth leaving all dayth of tireness
No hopeth, no remainth, no careth….
He hath to swirl for the sake of tomorrow
He revealeth staineth stand still in secondth
Rolleth as a roller coaster, lunar won’t be shy
She teareth in her mocking laughth
Nevertheless, He hath to be tough as next morning waiteth for his coming
(Cikarang, 01.03am, Sept. 28, 2009)
lebaran gitchu loch
Lebaran Holiday
I was very happy to welcome the coming of Iedul Fitri and I was very excited. Two days before Lebaran, my mother bought me some new clothes. The clothes were very nice. I thanked to my mother for her kind. One of the clothes was a Moslem Shirt or Koko Shirt. The color was blue because I loved blue color. On Takbiran night, my friends and I went to a mosque nearby. We did Takbiran there in a happy feeling and we played around, laughed, and ran all over the places. We were happy because the following morning we could wear our new clothes and of course we would get much money from our parents and relatives. More over in this Ramadhan, I could accomplish the fasting in the whole month. My father had told me before the Ramadhan came that I would get much money from him, my uncles and aunts. I was so excited therefore I slept very late at night after being so tired of laughing, playing, and running.
Finally the day of victory came. I would have overslept if my mother had not waken me up early in the morning. Hardly standing and walking, I forced myself to get into the bathroom. It was very cold but I felt happy because after taking a bath I would wear my new moslem shirt. I wore the new moslem shirt. I saw myself in the mirror and I was very good looking. My family and I went to a mosque near our house to have Iedul Fitri pray. Everybody looked very happy at that time and they wore new clothes too. After praying, we went home but on the way home we met many of our neighbors. We shaked and begged pardon from one to another. Arriving at home, I kissed my mother’s and father’s hands and they kissed my cheeks and said not to be naughty any longer. Then we prepared to have breakfast together, my mother made me a bowl of Ketupat and Chicken Curry. My mother’s cook was so delicious.
On the second day of Lebaran we did not go anywhere. In fact during my holiday, I just played with my Kite and football. Because I did not have a special program so I played Kites with my friends. We played the Kites in a field near my house. I liked playing Kite because it made me enjoy. Sometimes, I had to run to chase a defeated Kite. Even though I had to run fast and far away but I felt very excited. Once in a while my Kite was defeated by another boy but I did not feel sad because I could buy many new Kites. I had much money from on Lebaran Day so I could buy as many Kites as I wanted. When I played Kite, I could play it all day long. Sometimes my mother looked for me when I played too long.
Well, that was my holiday. Nothing was interesting. But I felt happy and joy during my holiday. I hope that I can meet next year’s Ramadhan and celebrate the Lebaran in happiness like this year. Of course I wish to have a long holiday again.
I was very happy to welcome the coming of Iedul Fitri and I was very excited. Two days before Lebaran, my mother bought me some new clothes. The clothes were very nice. I thanked to my mother for her kind. One of the clothes was a Moslem Shirt or Koko Shirt. The color was blue because I loved blue color. On Takbiran night, my friends and I went to a mosque nearby. We did Takbiran there in a happy feeling and we played around, laughed, and ran all over the places. We were happy because the following morning we could wear our new clothes and of course we would get much money from our parents and relatives. More over in this Ramadhan, I could accomplish the fasting in the whole month. My father had told me before the Ramadhan came that I would get much money from him, my uncles and aunts. I was so excited therefore I slept very late at night after being so tired of laughing, playing, and running.
Finally the day of victory came. I would have overslept if my mother had not waken me up early in the morning. Hardly standing and walking, I forced myself to get into the bathroom. It was very cold but I felt happy because after taking a bath I would wear my new moslem shirt. I wore the new moslem shirt. I saw myself in the mirror and I was very good looking. My family and I went to a mosque near our house to have Iedul Fitri pray. Everybody looked very happy at that time and they wore new clothes too. After praying, we went home but on the way home we met many of our neighbors. We shaked and begged pardon from one to another. Arriving at home, I kissed my mother’s and father’s hands and they kissed my cheeks and said not to be naughty any longer. Then we prepared to have breakfast together, my mother made me a bowl of Ketupat and Chicken Curry. My mother’s cook was so delicious.
On the second day of Lebaran we did not go anywhere. In fact during my holiday, I just played with my Kite and football. Because I did not have a special program so I played Kites with my friends. We played the Kites in a field near my house. I liked playing Kite because it made me enjoy. Sometimes, I had to run to chase a defeated Kite. Even though I had to run fast and far away but I felt very excited. Once in a while my Kite was defeated by another boy but I did not feel sad because I could buy many new Kites. I had much money from on Lebaran Day so I could buy as many Kites as I wanted. When I played Kite, I could play it all day long. Sometimes my mother looked for me when I played too long.
Well, that was my holiday. Nothing was interesting. But I felt happy and joy during my holiday. I hope that I can meet next year’s Ramadhan and celebrate the Lebaran in happiness like this year. Of course I wish to have a long holiday again.
Minggu, 06 September 2009
mondayy
Berikan sisa waktumu untuk dapat kita kenang. Dalam paruh napas kita bersama. Merajut mimpi berdua. Merangkai bunga kehidupa berdua di bawah lindungan cinta yang abadi. Tiada kerikil yang mampu menyakiti langkah kita. Tiada debu yang mampu menyakiti mata hati kita. Hingga sampai datang badai yang sering kali hadir namun kali ini lebih besar dan mengganggu kedamaian hati kita. Segera musnah harapan mimpi sedari awal. Dengan sebuah badai yang hanya beberapa saat mengaburkan ribuan rintangan yang teratasi dulu. Hanya dengan sebuah badai terlupakanlah janji hati. Hanya dengan sebuah badai tercorenglah janji suci. Hanya dengan badai terpisahlah dua kasih abadi. Hanya dengan badai yang seharusnya dapat dilawan dengan keteguhan hati. Kini keteguhan hati telah mati tiada arti.
(Cikarang, August 15, 2009)
Adalah kepentingan
Hancur lebur, terkoyak moyak sendi-sendi persaudaraan dalam kebersamaan. Peluru dan misil dimuntahkan dari orang-orang tidak paham menuju ke orang-orang awam. Hidup kini telah menjadi mimpi buruk hanya atas nama kepentingan. Kepentingan buta melumpuhkan tonggak persatuan sesama. Pemberontakan, pemboman, pembunuhan terjadi atas nama kepentingan. Bukan kepentingan agama. Bukanlah kepentingan bersama. Akan tetapi kepentingan perut dan kekuasaan semata. Mereka yang diatas tidak akan pernah peduli seberapa perih penderitaan mereka yang teraniaya. Materi dan kekuasaan jadi titik tolak kesengsaraan. Adalah kaum hedonis yang metropolis tidak sadar atas kehancuran yang terjadi karena ulah mereka sendiri. Maka hiduplah atas nama kejujuran hati, kedamaian jiwa, ketenangan akal, dan keagungan Tuhan.
(cikarang, August 15, 2009)
Dalam kebodohan yang membutakan mata.
Ketika kekuatan tidak berarti apa-apa
Saat tak satu kekuatan apapun yang sanggup menahan amarah diraja. Manakala mulut kehilangan makna dan ternganga. Ketika rasio manusia tak sanggup berbicara. Hanya hening dalam mimpi berkata Diraja dalam amarah kuasa. Saat manusia terjebak dalam analisanya. Tiada tuntunan menyertai jiwa terpaku bencana. Hanya dingin dalam menusuk berujar Diraja berpaling tinggalkan hamba…
(Cikarang, August 26, 2009)
Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
Malaysia negara dua petak
Malaysia negara plagiat
Malaysia negara tak beretika
Malaysia negara tak berbudaya
Malaysia negara biang teroris
Malaysia negara provokator
Malaysia negara tak berpendirian
Malaysia negara tak tahu terima kasih
Malaysia negara tidak berkeprikemanusiaan
Malaysia negara serakah
Malaysia negara arogan
Malaysia 20.000.000 Indonesia punya 200.000.000
Malaysia punya dua petak Indonesia berpetak-petak
Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
(Cikarang, August 28, 2009)
Penting
Saat agama dipertaruhkan demi sebuah kepentingan. Dalil-dalil diputarbalikkan hanya demi kepentingan. Sebuah Persaudaraan di acak-acak demi sebuah kepentingan. Kebudayaan di koyak-koyak demi sebuah kepentingan. Persatuan di obok-obok demi sebuah kepentingan. Nasionalisme di aduk-aduk atas nama kepentingan. Keteguhan hati diperlemah oleh sebuah kepentingan. Kemerdekaan di susutkan oleh kepentingan. Wahai kepentingan apa yang membuatmu begitu sadis menghancurkan sebuah bangsa. Kepentingan yang tercipta oleh keinginan yang tak terkendali.
(Cikarang, August 28, 2009)
Malam itu di bulan Agustus
Malam itu sepasang merpati bersama-sama menjalin mimpi di emperan jalan yang pikuk dengan angkot-angkot, truk-truk besar serta lalu lalang sepeda motor yang kadang serampangan. Berjalan berdampingan menyusuri pinggiran jalan keringat mereka. Berdua merajut kebahagiaan di tengah panasnya Cikarang. Menyulam masa depan dalam ketidaktahuan dan ambiguitas. Malam itu langit terasa sesak dicekoki asap knalpot dan asap pabrik sekitar. Malam itu semakin larut mambuai mereka untuk terlena di sarang kehampaan. Malam itu semakin larut meninggalkan rasa yang pekat dan asa yang kian tersiksa. Malam itu di bulan Agustus.
(Bekasi, August 29, 2009)
Bekasi-Cikarang
Terbentang jalan menyusuri jalur pantura meretas mimpi di antara Bekasi-Cikarang. Laju sepeda motor membangkitkan hasrat pada kenangan warna-warni kala lalu. Antara Bekasi-Cikarang tersimpan gundah lampau menyisakan amarah sendu terpaku. Pilu laksana langit berawan tiada berhujan. Ragu, tatkala angin menyeruak menghempaskan harapan. Tertatih-tatih di tempa kehidupan dalam kelam dan mulut yang terdiam. Antara Bekasi-Cikarang jauh dari buaian bunda yang bermuram. Saat hati terus dirajam serta bertambah geram. Antara Bekasi-Cikarang, tersaput mimpi dihempas sepi.
(Bekasi, September 1, 2009)
4YH
Mungkin kini tiada cerita
Saat hati terluka oleh goresan tinta
Merajut kembali cerita dalam keterharuan jiwa
Langkah terus berharap antara hingar bingar Bekasi-Cikarang
Terlunta-lunta tanpa kisah cerita
Ketika senja merangkak naik di jiwa
Tersayat-sayat tiada luka
Manakala hiruk pikuk kelelawar malam
Berterbangan di belahan hidup Cikarang
Tiada sadar ku berada di tengah-tengah rasa
Tiada anugerah kurasa menegur jiwa
Kala Cikarangku meninggalkan harapan
Ketika Cikarangku hempaskan dogma
Saat Cikarangku menodai keteguhan jiwa
(Bekasi, Sept. 3, 2009)
Di seberang jalan yang mulai sepi di lewati kulihat para muda bercengkerama diwarung kelontong menemani malam yang terus melarut dalam pekat. Kedai pecel lele yang jadi langganan pun kini telah sunyi tanpa pembeli, nampaknya semua pelayan tengah bersiap-siap untuk berselimut. Melangkah diriku menyusuri remang jalan Industri yang mulai di tinggalkan. Resah dalam naungan lampu jalanan. Di jalan beton itulah dulu pernah terjalin cerita di atas roda sepeda motor. Cerita seru yang meneguhkan jiwa dalam meniti takdirNya. Kini cerita itu telah berlalu seiring kerlip bintang yang kian redup dan bulan yang semakin menjauh dari belahan sisi tergelap Cikarang. Namun malam mengharuskan diri untuk berjalan meniti tepian jalan berdebu. Dalam Lelah jiwa untuk meratap nafas yang tersengal ditempa harapan yang sirna tertelan waktu. Langit malam terus berpragmatis meski realitas tak terpungkiri. Bertebar awan hitam mengancam dengan hujannya, angin berhembus kencang menyapu diri dari lamunan sendu. Kupercepat langkah ke arah kost milik Pak Haji Ali. Langkah kaki masuk bersama dengan turun hujan seakan langit ingin mencurahkan bebannya selama ini.
(Cikarang, 00.48 am, Sept. 6, 2009)
Teruntuk rindu yang terus berpindah dari satu rindu ke rindu yang lain
Teruntuk kisah yang selalu hinggap dari satu kisah ke kisah yang lain
Teruntuk kasih yang tiada pernah tentu di pelbagai kasih
Teruntuk cinta yang senantiasa bersenandung dari satu cerita ke cerita yang lain
Teruntuk hati yang lelah menebar asa dalam fana dunia
Teruntuk sepi yang siap hadir di celah ruang nafas
Teruntuk hari yang membawa hidup dalam halaman baru
Teruntuk dewi yang mungkin akan menemani
Menghantarkan diri antara satu mimpi ke mimpi yang baru….
(Cikarang, 10.50 pm, Sept. 6, 2009)
(Cikarang, August 15, 2009)
Adalah kepentingan
Hancur lebur, terkoyak moyak sendi-sendi persaudaraan dalam kebersamaan. Peluru dan misil dimuntahkan dari orang-orang tidak paham menuju ke orang-orang awam. Hidup kini telah menjadi mimpi buruk hanya atas nama kepentingan. Kepentingan buta melumpuhkan tonggak persatuan sesama. Pemberontakan, pemboman, pembunuhan terjadi atas nama kepentingan. Bukan kepentingan agama. Bukanlah kepentingan bersama. Akan tetapi kepentingan perut dan kekuasaan semata. Mereka yang diatas tidak akan pernah peduli seberapa perih penderitaan mereka yang teraniaya. Materi dan kekuasaan jadi titik tolak kesengsaraan. Adalah kaum hedonis yang metropolis tidak sadar atas kehancuran yang terjadi karena ulah mereka sendiri. Maka hiduplah atas nama kejujuran hati, kedamaian jiwa, ketenangan akal, dan keagungan Tuhan.
(cikarang, August 15, 2009)
Dalam kebodohan yang membutakan mata.
Ketika kekuatan tidak berarti apa-apa
Saat tak satu kekuatan apapun yang sanggup menahan amarah diraja. Manakala mulut kehilangan makna dan ternganga. Ketika rasio manusia tak sanggup berbicara. Hanya hening dalam mimpi berkata Diraja dalam amarah kuasa. Saat manusia terjebak dalam analisanya. Tiada tuntunan menyertai jiwa terpaku bencana. Hanya dingin dalam menusuk berujar Diraja berpaling tinggalkan hamba…
(Cikarang, August 26, 2009)
Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
Malaysia negara dua petak
Malaysia negara plagiat
Malaysia negara tak beretika
Malaysia negara tak berbudaya
Malaysia negara biang teroris
Malaysia negara provokator
Malaysia negara tak berpendirian
Malaysia negara tak tahu terima kasih
Malaysia negara tidak berkeprikemanusiaan
Malaysia negara serakah
Malaysia negara arogan
Malaysia 20.000.000 Indonesia punya 200.000.000
Malaysia punya dua petak Indonesia berpetak-petak
Malaysia saudaraku? Malaysia musuhku?
(Cikarang, August 28, 2009)
Penting
Saat agama dipertaruhkan demi sebuah kepentingan. Dalil-dalil diputarbalikkan hanya demi kepentingan. Sebuah Persaudaraan di acak-acak demi sebuah kepentingan. Kebudayaan di koyak-koyak demi sebuah kepentingan. Persatuan di obok-obok demi sebuah kepentingan. Nasionalisme di aduk-aduk atas nama kepentingan. Keteguhan hati diperlemah oleh sebuah kepentingan. Kemerdekaan di susutkan oleh kepentingan. Wahai kepentingan apa yang membuatmu begitu sadis menghancurkan sebuah bangsa. Kepentingan yang tercipta oleh keinginan yang tak terkendali.
(Cikarang, August 28, 2009)
Malam itu di bulan Agustus
Malam itu sepasang merpati bersama-sama menjalin mimpi di emperan jalan yang pikuk dengan angkot-angkot, truk-truk besar serta lalu lalang sepeda motor yang kadang serampangan. Berjalan berdampingan menyusuri pinggiran jalan keringat mereka. Berdua merajut kebahagiaan di tengah panasnya Cikarang. Menyulam masa depan dalam ketidaktahuan dan ambiguitas. Malam itu langit terasa sesak dicekoki asap knalpot dan asap pabrik sekitar. Malam itu semakin larut mambuai mereka untuk terlena di sarang kehampaan. Malam itu semakin larut meninggalkan rasa yang pekat dan asa yang kian tersiksa. Malam itu di bulan Agustus.
(Bekasi, August 29, 2009)
Bekasi-Cikarang
Terbentang jalan menyusuri jalur pantura meretas mimpi di antara Bekasi-Cikarang. Laju sepeda motor membangkitkan hasrat pada kenangan warna-warni kala lalu. Antara Bekasi-Cikarang tersimpan gundah lampau menyisakan amarah sendu terpaku. Pilu laksana langit berawan tiada berhujan. Ragu, tatkala angin menyeruak menghempaskan harapan. Tertatih-tatih di tempa kehidupan dalam kelam dan mulut yang terdiam. Antara Bekasi-Cikarang jauh dari buaian bunda yang bermuram. Saat hati terus dirajam serta bertambah geram. Antara Bekasi-Cikarang, tersaput mimpi dihempas sepi.
(Bekasi, September 1, 2009)
4YH
Mungkin kini tiada cerita
Saat hati terluka oleh goresan tinta
Merajut kembali cerita dalam keterharuan jiwa
Langkah terus berharap antara hingar bingar Bekasi-Cikarang
Terlunta-lunta tanpa kisah cerita
Ketika senja merangkak naik di jiwa
Tersayat-sayat tiada luka
Manakala hiruk pikuk kelelawar malam
Berterbangan di belahan hidup Cikarang
Tiada sadar ku berada di tengah-tengah rasa
Tiada anugerah kurasa menegur jiwa
Kala Cikarangku meninggalkan harapan
Ketika Cikarangku hempaskan dogma
Saat Cikarangku menodai keteguhan jiwa
(Bekasi, Sept. 3, 2009)
Di seberang jalan yang mulai sepi di lewati kulihat para muda bercengkerama diwarung kelontong menemani malam yang terus melarut dalam pekat. Kedai pecel lele yang jadi langganan pun kini telah sunyi tanpa pembeli, nampaknya semua pelayan tengah bersiap-siap untuk berselimut. Melangkah diriku menyusuri remang jalan Industri yang mulai di tinggalkan. Resah dalam naungan lampu jalanan. Di jalan beton itulah dulu pernah terjalin cerita di atas roda sepeda motor. Cerita seru yang meneguhkan jiwa dalam meniti takdirNya. Kini cerita itu telah berlalu seiring kerlip bintang yang kian redup dan bulan yang semakin menjauh dari belahan sisi tergelap Cikarang. Namun malam mengharuskan diri untuk berjalan meniti tepian jalan berdebu. Dalam Lelah jiwa untuk meratap nafas yang tersengal ditempa harapan yang sirna tertelan waktu. Langit malam terus berpragmatis meski realitas tak terpungkiri. Bertebar awan hitam mengancam dengan hujannya, angin berhembus kencang menyapu diri dari lamunan sendu. Kupercepat langkah ke arah kost milik Pak Haji Ali. Langkah kaki masuk bersama dengan turun hujan seakan langit ingin mencurahkan bebannya selama ini.
(Cikarang, 00.48 am, Sept. 6, 2009)
Teruntuk rindu yang terus berpindah dari satu rindu ke rindu yang lain
Teruntuk kisah yang selalu hinggap dari satu kisah ke kisah yang lain
Teruntuk kasih yang tiada pernah tentu di pelbagai kasih
Teruntuk cinta yang senantiasa bersenandung dari satu cerita ke cerita yang lain
Teruntuk hati yang lelah menebar asa dalam fana dunia
Teruntuk sepi yang siap hadir di celah ruang nafas
Teruntuk hari yang membawa hidup dalam halaman baru
Teruntuk dewi yang mungkin akan menemani
Menghantarkan diri antara satu mimpi ke mimpi yang baru….
(Cikarang, 10.50 pm, Sept. 6, 2009)
Rabu, 12 Agustus 2009
another things
IS is IS…….
Realistis dalam kehidupan yang serba apatis. Memahami mimpi yang tertutupi pragmatis. Maju terus antara langkah dan dogmatis. Kehidupan terkadang jauh dari teoritis yang rasialis. Demi waktu yang penuh dengan reformis. Saat manusia menjadi paganis mengebiri jati diri dalam dilematis. Metropolis? Urbanis? Menganalisa lika-liku dunia tanpa bukti empiris. Lifestyle lebai yang penuh dengan over konsumis. Atletis dalam mimik ornamentalis. Tiada kandungan isi morphemis. Ayunan tangan dan langkah pacu di dalam lingkaran ironis. Dengusan lagu mendayu yang pesimis. Melankolis membuat hati teriris. Dalam nada dan irama puitis yang tidak realistis dan tiada optimis. Kilau puitis di lingkup mahluk-mahluk oportunis. Mahluk khayalis berkreasi tanpa niat abadi yang statis.
(Cikarang, August 5, 2009)
Biar ku lukis warna dunia dengan api pena yang tajam. Mata pena kerap menggaris jalur kehidupan penuh sukaduka. Kan ku taklukkan pagi, ku kalahkan siang hari, ku libas sore hari, ku patahkan malam hari. Terus maju menantang pedih di depan mata. Menari bersama riuh rendah ketamakan dunia. Hempaskan omong kosong, remeh temeh, isak tangis, keluh kesah dari tendensi jiwa. Bernyanyi bersama ketidak stabilan nyawa. Pecahkan teka-teki perilaku waktu yang mengejek dengan kekeh lalu. Hahaha, kan ku lumpuhkan angkuhnya cobaan menghadang.
9Cikarang, 00.22am, August 7 2009)
Siapa peduli manakala sembilu menyayat. Untuk apa peduli untuk yang terkoyak. Mengapa peduli bagi yang tersingkir. Perlu apa peduli saat mati. Apa guna peduli yang terhempas. Karena apa peduli setiap terdampar.
(Cikarang, August 7, 2009)
Si burung merak telah mangkat. Ia mangkat meninggalkan jejak penuh dengan isyarat . ia tinggalkan podiumnya yang kerap menemani kala susah dan gelisah, kala senang dan bahagia. Ia wasiatkan indah bulunya untuk menghiasi rangkaian mutiara bangsa. Bangsa ini merunduk seiring awan kelabu mengiringi kepakannya. Tiada kata yang sanggup menafsirkan kepergiannya. Hanya mampu berkata “Sang Burung Merak kini telah terbang mengumandang”. Bukanlah ke angkasa ia terbang, bukan ke cakrawala ia mengumandang. Ia terbang mengumandang dengan bebas seperti sedia kala. Ia mengepak menuju peraduan akhir.” Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
“kesadaran adalah nurani, kesabaran adalah mata hati, keberanian menjadi sahabat sejati. Dan perjuangan adalah langkah perwujudan mimpi-mimpi”.
(Cikarang, August 9, 2009)
Pagi itu di Jakarta terasa padat. Kuda-kuda bermesin berlomba-lomba merebut satu dua inci jalan dihadapan mereka berrebut tak mau kalah. Dengusan nafas mesin berbahan bakar seolah bernyanyi mengikuti irama sinar matahari yang semakin merangkak tinggi dengan cahayanya yang menyengatkan. Gemulai asap knalpot yang hitam legam ikut menyemarakkan keresahan para pengais kesempatan membuka harinya. Siul klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga datar tanpa nada. Pagi itu Gatot Subroto terasa seperti biasa padat, pikuk, meratap, dan merayap. Saat itu pukul tujuh lebih, di antara raungan mesin kendaraan, liukan asap knalpot hitam, dan siulan klakson tanpa jemu, mereka menangis histeris di sisi lain kota Jakarta. Mereka berdarah, tercabik berterbangan, entah tangan entah kepala. Mereka terpaksa menutup mata dalam ketidaktahuan mereka. Hidup Mereka di rampas tanpa mengerti apa maksudnya. Mereka terkapar dalam kebingungan. Mereka meregang nyawa di tengah hiruk pikuk Jakarta.
(Cikarang, August 11, 2009)
Entah apa yang ingin ku ungkapkan. Hanyalah kebingungan akan apa yang ku suguhkan kali ini. Bingung tanpa tema. Keruh tiada makna. Andai aku tidak bingung kenapa aku bingung. Aku pun tidak tahu mengapa aku tidak tahu. Aneh, memang aneh kalau sedang aneh. Heran, mengapa semua ini begitu mengherankan.
(Cikarang, 00.18am, august 12, 2009)
Ketika bumi menolak kehadirannya
Malang nian nasibnya terbujur tanpa nyawa. Tiada istri dan buah hati menghantarkannya tidur di liang lahat. Bahkan kampung halaman menolak jasadnya. Entah apa yang dilakukan oleh ruhnya. Menangiskah? Tertawakah? Tersenyumkah? Bilakah ia menangis jika ia tewas atas nama agama? Mungkinkah ia tertawa apabila tewasnya menewaskan pula orang lain? Dapatkah ia tersenyum jikalau keluarganya menanggung malu dan derita atas kepergiannya? Wallahu alam. Uh.. manusia… apa yang dicarinya… hingga keyakinan pun dikorbankan hanya demi sebuah kepentingan. Keyakinan dipertaruhkan demi sebuah kepentingan yang bahkan mereka sendiri tidak tahu untuk apa kepentingan tersebut. Ah… manusia… sungguhpun keyakinan dibuat untuk kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan bukan untuk kepentingan yang menghancurkan. Itulah manusia bila sudah terbuai dunia. Tuhan pun di jadikan permainan.
(Cikarang, 01.14 am, August 13, 2009)
Realistis dalam kehidupan yang serba apatis. Memahami mimpi yang tertutupi pragmatis. Maju terus antara langkah dan dogmatis. Kehidupan terkadang jauh dari teoritis yang rasialis. Demi waktu yang penuh dengan reformis. Saat manusia menjadi paganis mengebiri jati diri dalam dilematis. Metropolis? Urbanis? Menganalisa lika-liku dunia tanpa bukti empiris. Lifestyle lebai yang penuh dengan over konsumis. Atletis dalam mimik ornamentalis. Tiada kandungan isi morphemis. Ayunan tangan dan langkah pacu di dalam lingkaran ironis. Dengusan lagu mendayu yang pesimis. Melankolis membuat hati teriris. Dalam nada dan irama puitis yang tidak realistis dan tiada optimis. Kilau puitis di lingkup mahluk-mahluk oportunis. Mahluk khayalis berkreasi tanpa niat abadi yang statis.
(Cikarang, August 5, 2009)
Biar ku lukis warna dunia dengan api pena yang tajam. Mata pena kerap menggaris jalur kehidupan penuh sukaduka. Kan ku taklukkan pagi, ku kalahkan siang hari, ku libas sore hari, ku patahkan malam hari. Terus maju menantang pedih di depan mata. Menari bersama riuh rendah ketamakan dunia. Hempaskan omong kosong, remeh temeh, isak tangis, keluh kesah dari tendensi jiwa. Bernyanyi bersama ketidak stabilan nyawa. Pecahkan teka-teki perilaku waktu yang mengejek dengan kekeh lalu. Hahaha, kan ku lumpuhkan angkuhnya cobaan menghadang.
9Cikarang, 00.22am, August 7 2009)
Siapa peduli manakala sembilu menyayat. Untuk apa peduli untuk yang terkoyak. Mengapa peduli bagi yang tersingkir. Perlu apa peduli saat mati. Apa guna peduli yang terhempas. Karena apa peduli setiap terdampar.
(Cikarang, August 7, 2009)
Si burung merak telah mangkat. Ia mangkat meninggalkan jejak penuh dengan isyarat . ia tinggalkan podiumnya yang kerap menemani kala susah dan gelisah, kala senang dan bahagia. Ia wasiatkan indah bulunya untuk menghiasi rangkaian mutiara bangsa. Bangsa ini merunduk seiring awan kelabu mengiringi kepakannya. Tiada kata yang sanggup menafsirkan kepergiannya. Hanya mampu berkata “Sang Burung Merak kini telah terbang mengumandang”. Bukanlah ke angkasa ia terbang, bukan ke cakrawala ia mengumandang. Ia terbang mengumandang dengan bebas seperti sedia kala. Ia mengepak menuju peraduan akhir.” Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
“kesadaran adalah nurani, kesabaran adalah mata hati, keberanian menjadi sahabat sejati. Dan perjuangan adalah langkah perwujudan mimpi-mimpi”.
(Cikarang, August 9, 2009)
Pagi itu di Jakarta terasa padat. Kuda-kuda bermesin berlomba-lomba merebut satu dua inci jalan dihadapan mereka berrebut tak mau kalah. Dengusan nafas mesin berbahan bakar seolah bernyanyi mengikuti irama sinar matahari yang semakin merangkak tinggi dengan cahayanya yang menyengatkan. Gemulai asap knalpot yang hitam legam ikut menyemarakkan keresahan para pengais kesempatan membuka harinya. Siul klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga datar tanpa nada. Pagi itu Gatot Subroto terasa seperti biasa padat, pikuk, meratap, dan merayap. Saat itu pukul tujuh lebih, di antara raungan mesin kendaraan, liukan asap knalpot hitam, dan siulan klakson tanpa jemu, mereka menangis histeris di sisi lain kota Jakarta. Mereka berdarah, tercabik berterbangan, entah tangan entah kepala. Mereka terpaksa menutup mata dalam ketidaktahuan mereka. Hidup Mereka di rampas tanpa mengerti apa maksudnya. Mereka terkapar dalam kebingungan. Mereka meregang nyawa di tengah hiruk pikuk Jakarta.
(Cikarang, August 11, 2009)
Entah apa yang ingin ku ungkapkan. Hanyalah kebingungan akan apa yang ku suguhkan kali ini. Bingung tanpa tema. Keruh tiada makna. Andai aku tidak bingung kenapa aku bingung. Aku pun tidak tahu mengapa aku tidak tahu. Aneh, memang aneh kalau sedang aneh. Heran, mengapa semua ini begitu mengherankan.
(Cikarang, 00.18am, august 12, 2009)
Ketika bumi menolak kehadirannya
Malang nian nasibnya terbujur tanpa nyawa. Tiada istri dan buah hati menghantarkannya tidur di liang lahat. Bahkan kampung halaman menolak jasadnya. Entah apa yang dilakukan oleh ruhnya. Menangiskah? Tertawakah? Tersenyumkah? Bilakah ia menangis jika ia tewas atas nama agama? Mungkinkah ia tertawa apabila tewasnya menewaskan pula orang lain? Dapatkah ia tersenyum jikalau keluarganya menanggung malu dan derita atas kepergiannya? Wallahu alam. Uh.. manusia… apa yang dicarinya… hingga keyakinan pun dikorbankan hanya demi sebuah kepentingan. Keyakinan dipertaruhkan demi sebuah kepentingan yang bahkan mereka sendiri tidak tahu untuk apa kepentingan tersebut. Ah… manusia… sungguhpun keyakinan dibuat untuk kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan bukan untuk kepentingan yang menghancurkan. Itulah manusia bila sudah terbuai dunia. Tuhan pun di jadikan permainan.
(Cikarang, 01.14 am, August 13, 2009)
Selasa, 04 Agustus 2009
waspada....
Waspadalah…
Tidak terasa dalam beberapa hari Indonesia akan genap berusia 64 tahun. Hari Proklamasi yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 akan selalu menjadi momen yang paling bersejarah bagi bangsa ini. Setelah 350 tahun dijajah oleh bangsa asing dan 3.5 tahun dijajah oleh saudara satu benua akhirnya bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Merdeka adalah hal mutlak bagi setiap bangsa bahkan setiap individu, meskipun harus dibayar dengan tetesan darah. Jutaan putra dan putri bangsa gugur demi membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka rela meregang nyawa demi mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang ke Merauke. Kemudian kemerdekaan Indonesia pun di ikuti pula oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Diusianya yang ke 64 bangsa ini telah mengalami segala macam problematika dan polemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua rejim pemerintahan yang sempat menumpulkan perkembangan bangsa ini telah menyisakan warisan negatif dan warisan positif. Warisan negatif inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang amat rumit untuk dipecahkan. Indonesia adalah bangsa yang besar, kaya akan budaya, bahasa, flora dan fauna, serta yang terpenting adalah sumber daya alamnya. Karena itulah dari semenjak dahulu kala Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa asing hanya untuk menguasai dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Bahkan hingga kinipun bangsa ini secara abstrak masih diperebutkan.
Salah satu isu yang masih populer hingga saat ini adalah isu akan adanya perbeedaan. Perbedaan merupakan hal yang biasa terjadi dan juga merupakan anugerah dari yang Maha Kuasa. Perbedaan bukanlah hal-hal yang harus dipermasalahkan sehingga bila ada yang mengatakan bahwa perbedaan merupakan faktor penghambat dari kemajuan sebuah bangsa itu merupakan sebuah persepsi yang tidak beralasan. Perumpamaan saja, setiap agama apapun melarang perkawinan sedarah atau incest. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perkawinan antar gen sejenis yang justru akan merugikan generasi keturunannya. Intinya adalah di perlukannya perbedaan untuk mengisi kekurangan sehingga menghasilkan satu kesatuan yang bermutu. Sebetulnya permasalahan yang muncul dari perbedaan dapat diselesaikan apabila pihak-pihak yang bertikai lebih memikirkan dan memokuskan pada kemajuan bangsa bukanlah pada kepentingan individu atau golongan.
Waspadalah, itulah sebuah kata yang harusnya kita resapi sehingga melahirkan kewaspadaan kita akan hadirnya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Indonesia adalah negara yang besar berpulau-pulau disertai sumber daya yang belum terjamah itulah faktor utama hadirnya pihak-pihak oportunis yang memanfaatkan ketidak stabilan di negeri ini. Bom JW Marriot-Ritz Carlton dan kasus penembakan di freeport hanyalah sebagian kecil dari kekacauan yang mendapat dukungan dari “luar” . kemudian di ikuti pula oleh kasus sanksi terhadap tim Mutiara Hitam ‘PERSIPURA’ yang mendapat sanksi disiplin dari Komdis PSSI. Tidak main-main, tim ini mendapat hukuman tidak diperbolehkan bermain dalam Copa Indonesia selama 3 musim pertandingan akibat melakukan Walk Out pada laga final Copa Indonesia beberapa waktu lalu. Sanksi tersebut menimbulkan kemelut di persepakbolaan Indonesai yang sedang beranjak bangun dari tidurnya panjang. Ribuan suporter Mutiara Hitam berdemo di depan gedung DPRD Papua. Sekali lagi diperlukanya kewaspadaan, mengingat wilayah propinsi Papua Barat yang senantiasa bergejolak, demi menghindari campur tangan pihak yang tidlak bertanggung jawab. Untuk itu mari kita tingkatkan semangat kebersamaan dan nasionalitas guna mewujudkan negara yang maju dan mandiri.
(Cikarang, 00.14am, August 5, 2009)
Tidak terasa dalam beberapa hari Indonesia akan genap berusia 64 tahun. Hari Proklamasi yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 akan selalu menjadi momen yang paling bersejarah bagi bangsa ini. Setelah 350 tahun dijajah oleh bangsa asing dan 3.5 tahun dijajah oleh saudara satu benua akhirnya bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Merdeka adalah hal mutlak bagi setiap bangsa bahkan setiap individu, meskipun harus dibayar dengan tetesan darah. Jutaan putra dan putri bangsa gugur demi membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka rela meregang nyawa demi mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang ke Merauke. Kemudian kemerdekaan Indonesia pun di ikuti pula oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Diusianya yang ke 64 bangsa ini telah mengalami segala macam problematika dan polemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua rejim pemerintahan yang sempat menumpulkan perkembangan bangsa ini telah menyisakan warisan negatif dan warisan positif. Warisan negatif inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang amat rumit untuk dipecahkan. Indonesia adalah bangsa yang besar, kaya akan budaya, bahasa, flora dan fauna, serta yang terpenting adalah sumber daya alamnya. Karena itulah dari semenjak dahulu kala Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa asing hanya untuk menguasai dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Bahkan hingga kinipun bangsa ini secara abstrak masih diperebutkan.
Salah satu isu yang masih populer hingga saat ini adalah isu akan adanya perbeedaan. Perbedaan merupakan hal yang biasa terjadi dan juga merupakan anugerah dari yang Maha Kuasa. Perbedaan bukanlah hal-hal yang harus dipermasalahkan sehingga bila ada yang mengatakan bahwa perbedaan merupakan faktor penghambat dari kemajuan sebuah bangsa itu merupakan sebuah persepsi yang tidak beralasan. Perumpamaan saja, setiap agama apapun melarang perkawinan sedarah atau incest. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perkawinan antar gen sejenis yang justru akan merugikan generasi keturunannya. Intinya adalah di perlukannya perbedaan untuk mengisi kekurangan sehingga menghasilkan satu kesatuan yang bermutu. Sebetulnya permasalahan yang muncul dari perbedaan dapat diselesaikan apabila pihak-pihak yang bertikai lebih memikirkan dan memokuskan pada kemajuan bangsa bukanlah pada kepentingan individu atau golongan.
Waspadalah, itulah sebuah kata yang harusnya kita resapi sehingga melahirkan kewaspadaan kita akan hadirnya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Indonesia adalah negara yang besar berpulau-pulau disertai sumber daya yang belum terjamah itulah faktor utama hadirnya pihak-pihak oportunis yang memanfaatkan ketidak stabilan di negeri ini. Bom JW Marriot-Ritz Carlton dan kasus penembakan di freeport hanyalah sebagian kecil dari kekacauan yang mendapat dukungan dari “luar” . kemudian di ikuti pula oleh kasus sanksi terhadap tim Mutiara Hitam ‘PERSIPURA’ yang mendapat sanksi disiplin dari Komdis PSSI. Tidak main-main, tim ini mendapat hukuman tidak diperbolehkan bermain dalam Copa Indonesia selama 3 musim pertandingan akibat melakukan Walk Out pada laga final Copa Indonesia beberapa waktu lalu. Sanksi tersebut menimbulkan kemelut di persepakbolaan Indonesai yang sedang beranjak bangun dari tidurnya panjang. Ribuan suporter Mutiara Hitam berdemo di depan gedung DPRD Papua. Sekali lagi diperlukanya kewaspadaan, mengingat wilayah propinsi Papua Barat yang senantiasa bergejolak, demi menghindari campur tangan pihak yang tidlak bertanggung jawab. Untuk itu mari kita tingkatkan semangat kebersamaan dan nasionalitas guna mewujudkan negara yang maju dan mandiri.
(Cikarang, 00.14am, August 5, 2009)
orisinil...
Orisinatlitas yang sempat tertunda
Orisinalitas yang terpendam selama puluhan tahun telah menyeruak. Semangat pantang menyerah adalah tauladan abadi. Tauladan yang takkan pernah lekang oleh waktu. Usia bukanlah dinding penghalang untuk berkreasi dan bermimpi. Melanjutkan mimpi yang tertunda bertahun-tahun tatkala aral rintangan dan rasa takut menjadi musuh yang sempurna. Tantangan dunia akhirnya musnah oleh kesederhanaan diri yang tidak tertutupi basa-basi dunia. Orisinalitas tidak akan pernah basi dan takkan lekang oleh waktu. Kejujuran dalam berekspresi kemudian meruntuhkan kesombongan manusia dalam topeng kepalsuannya. Kelugasan dalam berbicara pula yang akan merubah masa depan dunia. Meskipun fisik berubah menjadi kaku, mulutpun mulai membisu, dan nafas berhenti menderu ketika sang malaikat tiba menjamu. Namun kejujuran, kelugasan, kesederhanaan, ketidakputus asaan, keyakinan, ketekunan, kepercayaan diri, keterbukaan, dan kemampuan mengekspresikan diri adalah pelajaran berharga bagi setiap generasi negeri ini.
(R.I.P Alm. Urip A Rianto)
Orisinalitas yang terpendam selama puluhan tahun telah menyeruak. Semangat pantang menyerah adalah tauladan abadi. Tauladan yang takkan pernah lekang oleh waktu. Usia bukanlah dinding penghalang untuk berkreasi dan bermimpi. Melanjutkan mimpi yang tertunda bertahun-tahun tatkala aral rintangan dan rasa takut menjadi musuh yang sempurna. Tantangan dunia akhirnya musnah oleh kesederhanaan diri yang tidak tertutupi basa-basi dunia. Orisinalitas tidak akan pernah basi dan takkan lekang oleh waktu. Kejujuran dalam berekspresi kemudian meruntuhkan kesombongan manusia dalam topeng kepalsuannya. Kelugasan dalam berbicara pula yang akan merubah masa depan dunia. Meskipun fisik berubah menjadi kaku, mulutpun mulai membisu, dan nafas berhenti menderu ketika sang malaikat tiba menjamu. Namun kejujuran, kelugasan, kesederhanaan, ketidakputus asaan, keyakinan, ketekunan, kepercayaan diri, keterbukaan, dan kemampuan mengekspresikan diri adalah pelajaran berharga bagi setiap generasi negeri ini.
(R.I.P Alm. Urip A Rianto)
Langganan:
Postingan (Atom)